Kemerdekaan Pers dan Keterbukaan Informasi Publik Harusnya Beriringan

15 Dec 2023

Dibaca 191 Kali

Diskominfo Tubaba - Atas narasi yang dibangun dalam simpang siur pemberitaan tentang terbitnya Peraturan Bupati Nomor 27 dan 28 Tahun 2023 dirasa perlu untuk menyampaikan beberapa hal yang diharapakan bisa menjadi pembuka perspektif bagi yang berkepentingan:


1. Pengelolaan informasi dan dokumentasi publik telah diatur sedemikian rupa, sehingga tata cara dan juga tata kelola pemenuhan keterbukaan informasi bagi publik dapat dilaksanakan, apakah informasi itu bersifat terbuka untuk publik (informasi yang wajib tersedia setiap saat, berkala atau serta-merta) atau informasi itu bersifat tertutup (informasi yang dikecualikan).


Pun demikian dengan mekanisme yang mengatur bilamana dan bagaimana informasi itu bersifat terbuka atau tertutup. 


Pelayanan permohonan informasi dan pengecualian informasi juga dijelaskan dalam tahapan-tahapan yang ada dalam aturan-aturan sebagai turunan dari Undang-Undang itu sendiri hingga kepada Peraturan Kepala Daerah sampai kepada Keputusan Kepala Daerah, ini yang dinamakan dengan harmonisasi atau fasilitasi pembentukan aturan. 


Jadi sebuah peraturan bukan hanya sekedar copas (_copy paste_) belaka, namun wajib untuk sejalan dan senafas dengan aturan perundang-undangan di atasnya.


Dengan demikian, penetapan sebuah peraturan kepala daerrah tidak bisa didasari oleh sifat preman atau penjahat konstitusi, namun secara berjenjang dibahas dan dikritisi di setiap tingkatan dan sangat tidak mungkin hantam kromo atau bertentangan dengan aturan perundang-undangan di atasnya.


2. Kemerdekaan pers sebagai salah satu wujud kedaulatan rakyat harus  berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum, karenanya kemerdekaan pers adalah kemerdekaan yang disertai kesadaran akan pentingnya penegakan supremasi hukum yang dilaksanakan oleh pengadilan, dan tanggung jawab profesi yang dijabarkan dalam Kode etik Jurnalistik serta sesuai dengan hati nurani insan pers. 


Kemerdekaan pers telah dijamin dengan lugas, namun secara tegas pula harus menghormati supremasi hukum dan terikat dengan tanggung jawab dalam kode etik jurnalistik dan hati nurani. 


Praktik pelaksanaan keterbukaan informasi publik tidak akan bertentangan dengan pelaksanaan tugas-tugas jurnalistik karena dasarnya adalah pemenuhan hak publik akan informasi, informasi yang secara prinsip dapat berpengaruh pada pengembangan masyarakat dan lingkungannya. 


Informasi yang tersebar di ruang publik, terkhusus yang dihasilkan oleh badan publik dan juga pers, haruslah mampu memberikan jaminan bahwa informasi itu benar dan akurat, tidak tercampur antara opini dan fakta atau bahkan berpotensi mempunyai itikad buruk dengan embel-embel diksi seperti preman, penjahat baru dan sejenisnya.


Karena yang dibutuhkan adalah kepercayaan publik dan bukan pengakuan atas informasi yang berujung pada sensasi belaka.


3. Kode etik menjadi pedoman dalam pelaksanaan kerja, kode etik jurnalistik bagi insan pers dan kode etik pegawai bagi ASN. 


Kedua kode etik ini terikat pada norma dan aturan yang berlaku, ada hak dan kewajiban dalam melaksanakan kerja sesuai profesinya masing-masing. 


Norma dan aturan yang mengikat ini, tidak serta merta menjadi satu pihak menjadi lebih superior dibandingkan yang lain. 


Namun semestinya dapat berjalan sesuai koridornya masing-masing dengan tidak mengesampingkan atau bahkan menihilkan esensi dari pemenuhan hak publik akan informasi yang benar dan akurat secara profesional dan bertanggungjawab.


4. Bila dicermati, undang-undang tentang keterbukaan informasi publik sesungguhnya bukan hanya menjadi domain dan kewajiban pemerintah daerah saja, tapi semua badan publik. 

Badan publik berupa instansi atau organisasi yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari APBN/APBD, sumbangan masyarakat dan/atau luar negeri wajib melaksanakan keterbukaan informasi. 


Dengan demikian tidak ada alasan untuk beranggapan bahwa peraturan bupati ini semata hanya untuk kepentingan pemerintah daerah dan lalu mengkebiri/menghalangi pelaksanaan tugas-tugas jurnalistik.


Termasuk didalamnya adalah mekanisme dalam penetapan informasi yang dikecualikan, yang kerap dianggap sebagai muslihat dalam menghindari tanggungjawab pemenuhan informasi publik dan atau menghalangi kerja-kerja pers.


Sifat dan jenis informasi yang dikecualikan sesungguhnya telah tegas disebutkan dalam pasal 6 ayat 3, undang-undang keterbukaan informasi publik, harus mempunyai dasar hukum yang kuat atas serta alasan yang logis dan jelas kenapa informasi itu harus dikecualikan.


Selain itu, penetapan informasi yang dikecualikan mesti melewati tahapan yang dinamakan uji konsekuensi dengan pelibatan pihak-pihak terkait atau memiliki kepentingan langsung.




Pemerintah daerah menetapkan aturan atas dasar undang-undang serta aturan-aturan pelaksanaan dibawahnya.


Perbedaaan sudut pandang adalah hal biasa dalam berdemokrasi, namun demikian selalu ada mekanisme untuk penyelarasan perbedaan ini, utamanya pada perbedaan terhadap suatu produk hukum yang dapat dilaksanakan melalui eksaminasi secara akademis. 


Ruang dan waktu melakukan eksaminasi peraturan perundang-undang sangat terbuka bagi semua stakeholders dan warga masyarakat.


Di tahap akhir perbedaan tersebut dapat diselesaikan lewat mekanisme keberatan melalui Mahkamah Agung RI.


Namun demikian, pengedepanan dialektika ilmiah dan rasional adalah langkah bijak yang dapat ditempuh untuk menemukan titik-titik kesamaan diantara perbedaan perspektif masing-masing.


Karena sesungguhnya Kemerdekaan Pers dan Keterbukaan Informasi Publik harusnya dapat berjalan beriringan.

Diposting Oleh FAJAR ANANDRA
dinas Komunikasi dan Informatika